by:
Faybudi
Pimpinan belum tentu Pemimpin
Menurut saya, menjadi seorang pimpinan belum berarti menjadi seorang pemimpin. Dua sosok itu berbeda. Seorang pimpinan adalah “there must be someone in that position” alias harus ada seseorang untuk mengepalai atau mengorganisir entiti-nya, misalnya perusahaan, badan, lembaga, atau instansi pemerintah. Namun seorang pemimpin yang baik (berdasarkan pandangan dan penilaian saya) adalah seseorang yang diakui segala tindak tanduknya memang patut untuk dicontoh, artinya disini dia belum tentu adalah awalnya seorang pimpinan perusahaan atau instansi namun bisa saja seorang biasa namun kepribadiannya diakui oleh suatu komunitas pantas untuk memimpin.
Fokus tulisan ini adalah bagaimana agar seorang pimpinan juga adalah seorang pemimpin. Nah, yang banyak terjadi di suatu organisasi pimpinan belum berkarakter menjadi pemimpin, alias banyak menjalani tugasnya dengan menggunakan mekanisme perintah atau instruksi agar suatu pekerjaan selesai, tidak mengarah kepada yang lebih luas yaitu pekerjaan yang tetap selesai namun juga membangun suatu hubungan yang harmonis antara pimpinan dan bawahannya.
Apa yang perlu diperhatikan Pemimpin Yang Baik
Sekarang bagaimana sih agar seorang pimpinan dapat diakui juga sebagai seorang pemimpin oleh stafnya? Saya menangkap ada satu dari sekian banyak hal yang perlu diperhatikan yang terkadang terlewatkan oleh para pimpinan, yaitu: si pimpinan adalah orang yang meminta bantuan bawahannya.
Kawan-kawan dapat mengamati baik melihat dari televisi, dari membaca berita di koran, dari keseharian di tempat kerja, sampai memperhatikan kolega yang sudah memiliki jabatan bagus, kemungkinan sering melihat mereka-mereka yang sudah mempunyai status atau jabatan justru tidak memperlihatkan dirinya sebagai pemimpin. Kalau sebagai pimpinan , iya, itu tidak perlu dibantah, lha wong di bagan organisasinya jelas tertulis disana.
Disini saya melihat justru dengan diangkatnya menjadi pimpinan justru yang terjadi ialah dominan melalui cara menyuruh atau memberi perintah kepada bawahannya. Yang terjadi apa? Pekerjaan yang diperintahkan selesai dikerjakan namun “that’s it”, yang diberi perintah tidak memberikan kontribusi lain (mungkin kontribusi maksimum) alias sekedar menunaikan kewajibannya saja. Padahal dari bawahan ini bisa banyak sekali memberikan masukan karena dia yang mengerjakan pekerjaan itu sepenuhnya. Dari dia bisa kita gali apa saja kelemahan suatu pekerjaan, apa saja yang perlu diperbaiki, atau mungkin sampai kepada usulan ekstrim dari bawahan bahwa sebenarnya pekerjaan itu tidak efektif dan sebenarnya bahkan mungkin tidak perlu dilakukan. Kenapa bawahannya berbuat demikian? Ya karena dia hanya menunaikan kewajiban.
Dari sini saya mencari apa sebenarnya yang kurang? Setelah ditelusuri, ternyata salah satu hal yang tidak dilakukan pimpinan adalah si pimpinan tidak memposisikan dirinya sebagai “someone who asking for help” atau orang yang meminta bantuan.
Pemimpin Yang Baik >> Memimpin dengan cara Meminta Bantuan
Jadi ada perbedaan cara meminta tolong untuk melakukan suatu pekerjaan, yang satu dengan menyuruh, yang satu meminta bantuan agar mengerjakan suatu pekerjaan. Pekerjaannya tetap sama, tapi cara memintanya berbeda.Keduanya mempunyai dampak yang sangat signifikan. Dari sikap menyuruh seperti: “kerjakan ini, lakukan itu” si pemimpin hanya mendapatkan hasil bahwa pekerjaan itu selesai, sedangkan dari sikap bahwa “saya meminta bantuan Anda untuk melakukan hal ini..hal itu” maka yang didapatkan adalah:
- masukan-masukan atau usulan atas pekerjaan tersebut,
- apa kendalanya,
- apakah pekerjaan tersebut efektif atau bagaimana membuatnya menjadi lebih efektif dari cara saat ini
- respek atau rasa hormat dari yang dimintai pertolongan. Inilah poin penting yang ingin dicapai dimana yang diminta tolong/bawahan merasa bahwa ada pimpinan yang juga seorang pemimpin di tempat kerjanya.
Kemudian akan timbul pertanyaan, apakah nanti justru kalau tidak melalui perintah/suruhan pekerjaannya tidak akan dilakukan karena dianggap pimpinan lembek? Menurut saya tidak begitu, karena dari posisi strukturalnya saja, yang diberi perintah/bawahannya memang sudah mengakui dalam dirinya bahwa dia adalah seseorang yang harus mengerjakan pekerjaan itu.