Terkait adanya isu mengenai pembukaan informasi oleh bank kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebenarnya hal ini sudah sangat jelas diatur dalam ketentuan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam UU KUP tersebut, dalam Pasal 35 ayat (1) disebutkan bahwa pihak bank wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta DJP dalam rangka menjalankan ketentuan peraturan perpajakan. Selanjutnya pada ayat (2) yang menyebutkan apabila keterangan dari pihak bank tersebut terikat satu perjanjian untuk merahasiakannya, maka kewajiban merahasiakan ditiadakan sepanjang ada permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
Di sisi perbankan sebagai pihak yang memberikan keterangan, UU Perbankan No 10 Tahun 1998 juga sudah mengatur yaitu pada pasal 41, bahwa untuk kepentingan perpajakan pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak. Hal ini diperkuat lagi oleh Bank Indonesia dengan mengeluarkan ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 2/19/PBI/2000 yang pada pasal 2 menyebutkan bahwa ketentuan untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah tidak berlaku bila perlu dibuka untuk kepentingan perpajakan.
Melihat kepada ketentuan di atas, seharusnya tidak ada permasalahan mendasar ketika DJP meminta agar Bank memberikan keterangan mengenai nasabahnya, karena mengakses informasi Bank sudah bukan hal yang melanggar ketentuan jika diperlukan. Namun kenyataaannya, saat ini informasi tersebut masih sulit diberikan, karena Bank setengah-setengah dalam memberikan informasi terkait nasabahnya dengan alasan kerahasiaan bank.
Jika demikian, maka yang perlu dilakukan oleh DJP ke depannya adalah menetapkan misi bahwa yang dilakukan bukanlah lagi usaha membuka akses, melainkan usaha melebarkan akses tersebut. Mengutip artikel OECD dengan judul Improving Access to Bank Information for Tax Purposes, disebutkan bahwa instansi perpajakan di suatu negara perlu mendapatkan keterangan/informasi termasuk:
- Simpanan nasabah;
- Penarikan / withdrawal. Instansi perpajakan perlu mengetahui informasi ini dengan maksud untuk mengetahui beberapa hal seperti adanya penghasilan yang legal dan yang tidak legal, apakah pembayar pajak telah mengklaim pengurang penghasilan palsu (false tax deduction), apakah ada pinjaman yang dilakukan di bawah tangan, untuk memperoleh jawaban atas asal sumber dana, dan untuk mengidentifikasi apakah terjadi penyuapan;
- Kartu tanda tangan (signature card);
- Penghasilan yang berasal dari bunga.
Nah, bila DJP dapat memperoleh informasi tersebut, maka tentunya ia akan sangat berguna untuk dua hal utama dari fungsi DJP, yaitu:
- untuk melakukan verifikasi atas kewajiban perpajakan,
- dalam rangka pengumpulan pajak dari para pembayar pajak,
Kini mari kita lihat data Bank Indonesia, per bulan April 2012 (sumber: SPI Juli 2013) terdapat Rp. 2.841 Trilyun dana nasabah yang dikelola bank umum di Indonesia, dimana selanjutnya dituliskan dalam website finance.detik.com bahwa pada April 2012 sejumlah Rp. 1.232 Trilyunnya (43,3%) dimiliki oleh 51.422 nasabah dengan jumlah simpanan di atas Rp. 5 Milyar. Selanjutnya per bulan Juli 2013 ini, menurut Bank Indonesia dalam SPI Juli 2013, dana nasabah ini meningkat mencapai 3.392 Trilyun. Ini jumlah yang fantastis dimana dalam kurun waktu satu tahun bertambah sekitar 500 Trilyun.
Dengan demikian besarnya dana nasabah di perbankan tersebut, perlu disadari oleh semua komponen bangsa adalah suatu kewajaran jika DJP ingin mengetahui informasi mengenai dana tersebut karena ini terkait dengan potensi penerimaan pajak. Pertanyaan-pertanyaan siapa pemilik dana ini, dari mana mereka memperolehnya, apakah mereka sudah membayar pajaknya, bahkan hingga kepada pertanyaan apakah ada penghasilan yang ilegal seperti dari pencucian uang (money laundering) atau ada kejahatan perpajakan di dalamnya (tax crime) sudah pasti mengemuka di benak DJP.
Sebenarnya sudah banyak yang diusahakan DJP, salah satunya yang terakhir adalah MoU dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan Juli 2013 kemarin yang intinya adalah menyelaraskan kerja kedua instansi ini yang dimulai dari harmonisasi peraturan perundangan. Ini positif, selanjutnya agar lebih berjalan lancar, lakukan pelebaran akses yaitu melalui metode penyebarluasan dan peningkatan pemahaman kepada pengambil kebijakan, kalangan perbankan, dan seluruh masyarakat bahwa upaya akses terhadap informasi perbankan adalah demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui optimalisasi penerimaan pajak, bukan dalam rangka membahayakan kerahasiaan informasi tersebut. Perumpamaannya seperti jalan tol yang ditutupi kerucut-kerucut (cone) pembatas jalan oleh Jasa Marga, kemacetan akan berkurang karena jalannya jadi lebih luas karena dihilangkannya kerucut-kerucut tersebut.
Memang ada ancaman atau ketakutan dari pelaku atau perbankan bahwa bila informasi tersebut dibuka kepada DJP, dikhawatirkan dana nasabah akan lari ke negara lain, misalnya ke Singapura dimana negara ini memiliki ketentuan untuk tidak membuka rahasia bank. Hal seperti ini memang dilema, namun jika dilihat, pelebaran akses informasi ke bank justru akan memberikan maslahat yang banyak bagi bangsa Indonesia secara jangka panjang.
Dapat digambarkan disini, bila ada kepastian tinggi bahwa setiap warga baik WNI atau WNA yang menempatkan dananya di perbankan di Indonesia informasi perbankannya dapat diberikan kepada DJP untuk kepentingan perpajakan (misalnya data simpanan dan transaksi withdrawal), maka secara perlahan namun pasti Indonesia akan menjadi negara yang dipercaya dan memiliki integritas yang tinggi di mata dunia. Tidak usah khawatir investasi akan lari ke negara lain karena bila dapat diharmonisasikan misalnya dengan kepastian yang tinggi dalam kemudahan dan kejelasan investasi di Indonesia, maka tentunya Indonesia tetap akan menjadi tempat yang menarik untuk berusaha. Di awal memang mungkin ada pemindahan dana namun tidak akan semua, itupun paling dalam jangka pendek saja, setelah itu akan masuk lagi. Yakinlah, 240 juta rakyat Indonesia akan selalu menjadi tempat yang menarik bagi setiap pengusaha untuk memperoleh penghasilan di sini.
Mengapa tetap menarik? Ini karena sudah diprediksi bahwa hingga tahun 2030, Indonesia akan terus meningkat menjadi negara terbesar ke-7 di dunia (sumber: McKinsey) dikarenakan ekonomi akan tumbuh dengan stabil. Sekarang dikembalikan pertanyaannya kepada kita semua, apa mungkin bisa menjadi negara terbesar ke-7 di dunia kalau salah satu pilar ekonominya yaitu perbankan sulit diakses oleh instansi perpajakan dan justru menjadikan Indonesia surga untuk menempatkan dana ilegal?
Jadi disini terlihat bahwa adanya akses yang bertanggung jawab oleh pihak DJP ke informasi perbankan selain mengoptimalkan penerimaan pajak juga meningkatkan integritas bangsa. Integritas bangsa terbentuk karena akses DJP dapat menghindari adanya dana-dana ilegal yang dapat membuat perbankan di Indonesia tidak dipercaya yang akhirnya dana malah tetap lari ke negara lain, seperti yang saat ini justru ditakutkan kalangan perbankan. Lihat kasus bank di Swiss yang dipaksa oleh Amerika Serikat untuk memberikan data nasabahnya yang berkewarganegaraan Amerika Serikat. Karena memberikan datanya dengan terpaksa, dalam artian tidak ada niat baik, maka negara tersebut kini dipandang sebelah mata karena menjadi tempat penyimpanan dana yang diperkirakan ada unsur penghindaran pajak atau mungkin tax crime.
Sekarang tinggal kemauan dari semua stake holder untuk menjalankan ketentuan-ketentuan dan MoU yang sudah ada. Perlebar aksesnya, hilangkan hambatan-hambatannya, dan ubah paradigmanya. Paradigma saat ini yang menyatakan bank bagus adalah bank yang terpercaya karena dapat menjaga rahasia nasabahnya ubahlah menjadi bank yang terpercaya sekaligus berintegritas di bidang perpajakan. Kita semua dapat membayangkan bila dari informasi perbankan dapat mengoptimalkan penerimaan perpajakan, maka Indonesia menjadi negara ke-7 terbesar di dunia sudah di depan mata karena pembangunan berjalan lebih cepat. Salah satu pihak yang bangga pertama kali tentunya adalah kalangan perbankan karena ada kontribusi mereka, sesuai dengan peranan strategis mereka yang tercantum dalam Undang-Undang Perbankan: untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak.
Salam.
Salam.
No comments:
Post a Comment